Saturday, January 07, 2006

Saying yes to God

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kotbah-kotbah seputar kelahiran Yesus, lagu-lagu Natal, hiasan Natal dan hadiah mewarnai hari-hari menjelang kelahiran bayi Yesus. Perayaan Natal pun diadakan hampir di setiap gereja, persekutuan, perusahaan, organisasi baik Kristen maupun non Kristen, baik profit maupun non profit. Beberapa kali percakapanku dengan beberapa saudara seiman tahun ini menyuarakan bahwa Natal tidak hanya menjadi hari raya bagi umat Kristen namun telah menjadi tradisi bagi masyarakat Singapura dan salah satu daya tarik bagi dunia business.

Kesibukan sehari-hari dapat membuat sukacita Natal itu menjadi redup. Kalau dilihat dari sisi Allah, Allah harus berkorban, merelakan anakNya turun ke dunia. Anak Allah yang begitu kudus dan besar kuasanya, rela menjadi seorang bayi yang lemah. Satu pemikiran yg sempat muncul di benakku, haruskah ada perayaan Natal?

Belajar dari kitab Lukas, beliau menulis kitabnya dengan penuh kesukacitaan dan pujian dari tokoh-tokoh seputar kelahiran Yesus. Maria memuji Tuhan sebagai respon dari kesukacitaan Elisabet karena bayi Yohanes dalam kandungannya melonjak mendengar salam Maria di dalam Lukas 1:46-55. Pujian ini dikenal sebagai pujian Magnificat yang berarti glorifies di dalam bahasa Latin. Diikuti dengan pujian ‘benedictus’ Zakharia yang berarti praise be di dalam bahasa Latin. Malaikat memuji Allah di Lukas 2:14-15 dan para gembala di ayatnya yang ke 29-32. Tokoh-tokoh pada masa kelahiran Yesus menyambut kelahiran bayi Yesus dengan hati sukacita dan bersyukur karena Allah telah mengirimkan anakNya untuk membawa penebusan, pertobatan dan keselamatan bagi bangsa Israel dan Gentiles. Tokoh-tokoh ini menjadi contoh buat kita untuk bagaimana menyambut kelahiran bayi Yesus.

Tetapi penyambutan ini akan menjadi sia-sia belaka jika tidak disertai dengan hati yang tunduk terhadap Allah. Tokoh Maria menjawab “I am the Lord’s servant, may it be to me as you have said” ketika malaikat Gabriel datang memberitahukan tentang kelahiran Yesus melalui rahimnya. Maria menjawab ya dan menyetujui rencana Tuhan untuk diterapkan di dalam hidupnya.

Belajar dari pengalaman Maria, mengatakan iya kepada Tuhan berarti rela mengikuti cara Tuhan dan ada pengorbanan yang harus ditanggung. Maria harus menanggung keraguan Yusuf terhadap dirinya, cercaan tetangga karena hamil di luar nikah, penderitaan pada saat mengandung dan melahirkan. Selain itu, Maria dan Yusuf harus melarikan diri ke Mesir untuk melindungi bayinya dari Herodes dan juga membesarkan anak yang dia tidak pernah mengerti sepenuhnya. Maria yang seharusnya menjadi ibu dari Yesus harus tunduk terhadap Yesus sebagai Tuhannya. Puncaknya, ia melihat anaknya meninggal di kayu salib.

Sama seperti Maria, kita mungkin menjawab iya terhadap visi Allah bagi seluruh bangsa, kaum, suku bangsa dan bahasa. Kita meyerahkan diri untuk dipakai sepenuhnya bagi rencana Tuhan. Kita terpesona akan inspirasi dari Roh Kudus. Pada saat itu semangat kita berapi-api. Saat itu adalah karunia Tuhan untuk kita dan tugas kita menjaga visi tersebut supaya apinya tetap menyala.

Tuhan meresponi perkataan iya kita dengan cara membentuk dan menyiapkan kita menjadi partnerNya di dalam menjalankan kehendakNya. Untuk itu, kita akan diminta untuk melepaskan segala sesuatu yang bersifat duniawi yang menurut kita penting yang bukan dari Tuhan. Untuk itu pula, kita mungkin akan kehilangan teman atau keluarga atau kesenangan pribadi dan siap mati bagi Dia.

Hal ini memang tidak mudah. Berulang kali kita jatuh, bahkan terkadang kita dihadapkan pada perkara-perkara yang membutuhkan tenaga ekstra yang membosankan. Tapi itulah yang namanya proses. Tuhan tidak menginginkan pengetahuan tentangNya berhenti di otak kita, Dia menginginkan hati kita tunduk terhadapNya.

Lalu bagaimanakah menjaga api dari visi Allah? Caranya dengan taat kepada Allah secara detil di dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan kita sehari-hari terlihat sederhana dan mungkin bagi segelintir orang membosankan. Tetapi Allah mau supaya kita taat setiap waktu, 60 detik dalam setiap menit, 60 menit dalam setiap jam, bukan hanya dalam kehidupan doa kita, saat-saat di gereja atau saat-saat menginjili dengan EE.

Kita terbiasa untuk hidup mengikuti kedagingan kita, tetapi Tuhan telah memberikan kita hidup yang baru. Hidup yang baru membuat kita harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang telah Tuhan tetapkan. Tidak seorang pun lahir dengan karakter, hal itu harus dikembangkan. Demikian juga dengan kebiasaan yang Tuhan tetapkan harus dikembangkan (2 Pet 1:4-5).


Manusia cenderung untuk selalu mencari hal yang besar untuk dikerjakan seperti misalnya menjadi ketua organisasi atau supervisor suatu projek, menjadi bagian dari kelompok ternama. Hal ini justru menjadi hambatan terbesar di dalam kehidupan spiritual kita. Yesus memberi contoh dengan mengambil kain lenan dan mencuci kaki murid-muridnya (Yoh 13: 3-5), perbuatan sederhana yang menunjukkan kasihNya. Kita tidak diminta untuk menjadi seorang anak Tuhan yang super dan cemerlang, melainkan menjadi seseorang yang dalam kehidupan sehari-harinya memperlihatkan kasihNya.